Halaman Awal

Monday, December 19, 2011

Bagaimana Seharusnya Menempatkan suatu Keadaan


Sebetulnya penting nggak sih disukai banyak orang itu? Jawabannya bisa penting dan bisa tidak. Ini tergantung keadaan, alasan, dan konteks. Tetapi, secara umum, naluri dasariyah manusia itu punya kecenderungan untuk ingin disenangi. Buktinya, orang akan merasa bahagia jika dirinya disenangi banyak orang. Sebaliknya, orang akan merasa gelisah atau (minimalnya) kurang bahagia ketika dibenci atau kurang disenangi.
Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana supaya kita termasuk orang yang disengani orang lain? Secara teori memang tidak kita ditemukan tehnik baku untuk itu. Dari praktek hidup, ada petunjuk yang bisa kita tangkap. Salah satunya adalah, manusia itu cenderung kurang menyenangi sifat atau prilaku yang ekstrim
(terlalu di tepi atau terlalu) untuk hal-hal yang sifatnya pilihan / bisa dipilih. Tetapi ini tidak semuanya juga. Kalau melihat beberapa kasus yang umum, prilaku atau sifat yang berpotensi mengundang ketidaksenangan itu antara lain:
Pertama, terlalu diam atau terlalu ramai. Idealnya, kita memberikan kesempatan kepada orang lain untuk berbicara tentang dirinya, tentang pengetahuannya atau tentang pengalamannya. Di samping itu, kita pun perlu memberikan kesempatan untuk mendengarkan. Sehingga yang terjadi adalah dialog untuk saling memberi-menerima atau terjadi percakapan yang hangat. Kehangatan dialog bisa mengundang kesenangan atau kesan yang menyenangkan.
Tapi, jika kita hanya menjadi pendengar yang terlalu diam, pasif, lebih-lebih lagi kurang antusias untuk memberikan tanggapan kepada orang lain, ini berpotensi mengundang ketidaksenangan. Sebaliknya juga begitu. Jika kita yang mendominasi pembicaraan, kita mengungkapkan diri kita panjang lebar, lebih-lebih ditambah dengan sikap yang kurang menunjukkan rasa hormat ketika orang lain mengutarakan dirinya, inipun berpotensi mengundang ketidaksenangan.
Jadi, terlalu diam itu tidak bagus, namun terlalu ramai juga kurang bagus. Terlalu pasif tidak bagus, tetapi terlalu aktif juga tidak bagus. Terlalu diam membuat orang lain boring, tetapi terlalu ramai membuat orang lain merasa tidak nyaman. Menurut teori hubungan, terlalu diam atau terlalu pasif itu biasanya dilakukan oleh sebagian orang yang abdicraft. Lawannya adalah autocraft, terlalu aktif, terlalu ingin mendominasi, dan seterusnya. Yang disarankan adalah menjadi orang yang demokratik: tidak memaksakan kehendak pribadi, pun juga tidak terlalu pasif dan dingin. Terlalu ramai sering diberi julukan "omdo"(omong doang) atau big mouth (si mulut besar). Sebaliknya, terlalu diam sering diberi julukan "si patung", pengekor, dan lain-lain.
Kedua, terlalu ikut campur atau terlalu cuek. Idealnya, yang dibutuhkan adalah memberikan perhatian (care) atau share feeling (berbagi rasa) pada saat-saat dibutuhkan (empati). Perhatian ini banyak. Bisa dalam bentuk perasaan, sikap atau tindakan. Orang akan merasa lebih dihormati ketika dia tahu kita menaruh empati. Empati adalah peduli yang kita nyatakan dalam berbagai bentuk. Dalam konsep pengembangan-diri, empati termasuk pilar dalam meningkatkan interpersonal skill. Interpersonal skill adalah kemampuan seseorang dalam membuka, menjaga, dan memberdayakan hubungan (dengan orang lain). Ciri-ciri orang yang punya kemampuan bagus di hal ini, antara lain:
Jika empati mengundang kesenangan orang, maka terlalu ikut campur ke dalam wilayah / urusan pribadi orang lain sering dinilai berpotensi mengundang ketidaksenangan. Lebih-lebih jika campur tangan itu dinilai malah menambah masalah (bukan menyelesaikan / mengurangi masalah) atau membuat orang merasa kurang nyaman. Ada sih wilayah tertentu yang diharapkan campur tangan kita. Tetapi biasanya tetap ada limit / pembatas yang sudah dipasang lampu merah yang artinya adalah: jangan terlalu masuk ke dalam. Memang ini jarang diucapkan.
Begitu juga terlalu cuek, terlalu tidak perduli, atau terlalu masa bodoh. Yang lebih sering terjadi, terlalu cuek sama jeleknya dengan terlalu ikut campur. Kalau melihat teori tentang hubungan manusia, terlalu ikut campur itu biasanya dilakukan oleh sebagian orang-orang yang oversocial. Sebaliknya, terlalu cuek itu biasanya dilakukan oleh sebagian orang yang undersocial. Baik yang over atau yang under, keduanya sering dinilai kurang bagus. Yang disarankan adalah menjadi inklusif: tidak terlalu cuek dan tidak terlalu ikut campur.
Ketiga, terlalu tertutup atau terlalu terbuka. Idealnya, kita perlu membuat penjelasan-diri tentang hal-hal yang perlu dijelaskan dan perlu tidak menjelaskan hal-hal yang tidak perlu. Apanya yang perlu dan apanya yang tidak perlu? Inipun sulit dijelaskan. Umumnya, yang perlu dan yang tidak perlu itu hanya bisa dipahami oleh perasaan.
Dalam literatur keilmuan dikenal istilah self-disclosure, pengungkapan-diri yang dimaksudkan untuk meningkatkan makna / kualitas hubungan. Self-disclosure ini berbeda dengan self-description (penjelasan-diri). Perbedaan yang paling mendasar adalah, self-disclosure itu merupakan bentuk pengungkapan-diri tentang hal-hal yang signifikan bagi diri sendiri dan bagi orang lain (benar-benar penting untuk membangun hubungan).
Self-diclosure ini bukan saja akan mengundang kesenangan dan keakraban, tetapi malah bisa mengundang kepercayaan (trust). Dalam Psychology & Life (1979) dinyatakan bahwa trust dimulai dari self-diclosure. Jadi, biasanya, dari pengungkapan lahirlah keakraban dan dari keakraban lahirlah kepercayaan. Tapi, katanya, self-disclosure di sini bukan sebatas pada pernyataan mulut (verbal statement of self-diclosure), melainkan serangkaian tindakan yang bisa menjelaskan siapa diri kita. Kalau apa yang kita ucapkan itu berbeda dengan apa yang kita lakukan, bisa-bisa ini malah mengundang ketidaksenangan dan ketidakpercayaan.
Meskipun demikian, terlalu terbuka juga mengundang ketidaksenangan. Apa-apa bilang sama orang lain atau ditunjukkan kepada orang lain sehingga bisa ditafsirkan pamer. Bukan hanya itu, terlalu terbuka juga kerapkali menjadi kelemahan. Untuk membangun keakraban, terlalu terbuka itu seringkali sama jeleknya dengan terlalu tertutup. Terlalu tertutup sangat sering ditafsirkan sebagai upaya untuk menjaga jarak, seperti layaknya minyak dan air. Kalau ini diterapkan kepada orang yang baru kenal tentu baik-baik saja, namun kalau diterapkan pada orang yang sudah lama menjalin hubungan, biasanya ini kurang powerful untuk membangun keakraban.
Tiga poin di atas itu memang baru kasus-kasus umum yang punya ketergantungan pada konteks yang sangat spesifik. Artinya tidak bisa dijeneralisasi. Misalnya saja ada orang yang cerewetnya minta ampun. Untuk orang yang sudah mengenal dan memahami, tentu tidak ada masalah. Tapi untuk situasi baru dan orang baru, bisa saja hasilnya beda.
Dalam prakteknya, senang dan tidak senangnya orang itu lebih sering terkait dengan soal pemahaman dan kesaling-memahami (mutual understanding). Karena itu, banyak orang yang membenci orang lain karena salah paham, kurang paham, atau tidak saling memahami. Begitu juga banyak orang yang menyenangi orang lain karena sudah saling memahami.

No comments:

Post a Comment